Masyarakat berpenghasilan rendah kerap kali dihadapkan pada pilihan
pahit, bersabar mencicil angsuran rumah atau mempunyai rumah di pelosok
dan mengorbankan tabungan. Pilihan kedua kerap dipilih, mereka memiliki
rumah tetapi tetap mengeluarkan biaya besar untuk ongkos ke tempat
kerja.
"Gaji calon pembeli tidak memenuhi kriteria harga jual
rumah, bank tidak meloloskan permohonan KPR. Lalu, mereka memilih
perumahan yang lebih jauh lagi dari tempat kerja. Mereka malah keluar
biaya lebih besar lagi untuk ongkos transportasi," kata Michael Michael
Kurniawan, pengembang PT. Kurnia Panca Semesta Abadi yang tengah
mengembangkan dua proyek perumahannya Villa Tatira Tigaraksa dan Green
Mansion Curug, ketika ditemui di Tangerang, Banten, Jumat (13/7/2012).
Cerita
Michael ini berdasarkan pengamatannya sebagai pengembang di kawasan
Tigaraksa, Tangerang, Banten. Di kawasan ini, banyak tersebar kompleks
perumahan khusus rumah subsidi dengan target buruh dan pegawai.
"Kebetulan
saya dapat tanah murah di situ, jadi saya bisa jual Rp 75 juta tipe 36
meter persegi. Tapi daerah Tigaraksa itu jauh, kalau mau ke Jakarta
harus keluar uang banyak," kata Michael.
Menurut Michael,
perumahannya jauh lebih beruntung karena dekat stasiun kereta api.
Tetapi, di perumahan lain yang tak dekat stasiun, penghuninya harus
mengeluarkan ongkos lebih.
"Karena dekat stasiun biaya mereka Rp
100.000 plus abonemen Rp 50.000. Kalau yang lebih jauh lagi rumahnya,
sekali jalan bisa keluar ongkos Rp 15.000, belum dikali berapa hari
kerjanya," imbuhnya.
Michael paham masyarakat memilih opsi ini
lantaran sangat menginginkan punya rumah pribadi sendiri. Meski untuk
mewujudkannya, mereka harus pintar membagi keseluruhan gaji menjadi
sepertiga gaji untuk cicilan rumah, sepertiga gaji lagi untuk kebutuhan
hidup dan sepertiga lagi untuk dana cadangan seperti untuk kesehatan
atau tabungan anak.
"Untuk ilustrasi, dengan gaji Rp 2 juta untuk
angsuran rumah per bulannya Rp 600.000 - Rp 700.000 selama 15 tahun,
untuk kebutuhan hidup Rp 600.000 juga. Lalu biaya cadangan tidak ada
karena habis untuk transportasi yang mencapai Rp 600.000 per bulan,"
katanya.
"Lalu bagaimana dengan mereka yang berpenghasilan di
bawah Rp 2 juta? Sementara standar Upah Maksimum Regional (UMR) tidak
sampai segitu. MBR bergaji lebih rendah tetap tidak akan sanggup membeli
rumah subsidi," imbuh Michael.
No comments:
Post a Comment