Tuesday, July 17, 2012

Terjepit antara Punya Rumah atau Boros Ongkos

Masyarakat berpenghasilan rendah kerap kali dihadapkan pada pilihan pahit, bersabar mencicil angsuran rumah atau mempunyai rumah di pelosok dan mengorbankan tabungan. Pilihan kedua kerap dipilih, mereka memiliki rumah tetapi tetap mengeluarkan biaya besar untuk ongkos ke tempat kerja.
"Gaji calon pembeli tidak memenuhi kriteria harga jual rumah, bank tidak meloloskan permohonan KPR. Lalu, mereka memilih perumahan yang lebih jauh lagi dari tempat kerja. Mereka malah keluar biaya lebih besar lagi untuk ongkos transportasi," kata Michael Michael Kurniawan, pengembang PT. Kurnia Panca Semesta Abadi yang tengah mengembangkan dua proyek perumahannya Villa Tatira Tigaraksa dan Green Mansion Curug, ketika ditemui di Tangerang, Banten, Jumat (13/7/2012).
Cerita Michael ini berdasarkan pengamatannya sebagai pengembang di kawasan Tigaraksa, Tangerang, Banten. Di kawasan ini, banyak tersebar kompleks perumahan khusus rumah subsidi dengan target buruh dan pegawai.
"Kebetulan saya dapat tanah murah di situ, jadi saya bisa jual Rp 75 juta tipe 36 meter persegi. Tapi daerah Tigaraksa itu jauh, kalau mau ke Jakarta harus keluar uang banyak," kata Michael.
Menurut Michael, perumahannya jauh lebih beruntung karena dekat stasiun kereta api. Tetapi, di perumahan lain yang tak dekat stasiun, penghuninya harus mengeluarkan ongkos lebih.
"Karena dekat stasiun biaya mereka Rp 100.000 plus abonemen Rp 50.000. Kalau yang lebih jauh lagi rumahnya, sekali jalan bisa keluar ongkos Rp 15.000, belum dikali berapa hari kerjanya," imbuhnya.
Michael paham masyarakat memilih opsi ini lantaran sangat menginginkan punya rumah pribadi sendiri. Meski untuk mewujudkannya, mereka harus pintar membagi keseluruhan gaji menjadi sepertiga gaji untuk cicilan rumah, sepertiga gaji lagi untuk kebutuhan hidup dan sepertiga lagi untuk dana cadangan seperti untuk kesehatan atau tabungan anak.
"Untuk ilustrasi, dengan gaji Rp 2 juta untuk angsuran rumah per bulannya Rp 600.000 - Rp 700.000 selama 15 tahun, untuk kebutuhan hidup Rp 600.000 juga. Lalu biaya cadangan tidak ada karena habis untuk transportasi yang mencapai Rp 600.000 per bulan," katanya.
"Lalu bagaimana dengan mereka yang berpenghasilan di bawah Rp 2 juta? Sementara standar Upah Maksimum Regional (UMR) tidak sampai segitu. MBR bergaji lebih rendah tetap tidak akan sanggup membeli rumah subsidi," imbuh Michael.

No comments:

Post a Comment