Saya punya teman seorang brand manager di sebuah perusahaan consumer
good terkemuka di Jakarta. Teman asal Klaten ini termasuk
workaholickarena kesehariannya hanya kerja dan kerja.
Ya karena belum ada anak dan istri, ditambah lagi ia tinggal sendirian
alias kos di Jakarta. Karena berprestasi dan kerja sepenuh hati, belum
sampai lima tahun posisi empuk brand manageria raih,tentu dengan gaji
yang lumayan. Karena terbiasa prihatin sejak kecil, pengeluaran per
bulannya minim.
Ia nggak hobi belanja atau makan-makan di mal.Ia enggak hobi
mengoleksi gadget seperti banyak dilakukan teman-teman profesional
muda.Ia juga tidak hobi traveling menghabiskan uang.Akibatnya gampang
ditebak, gajinya tiap bulan praktis utuh. Lalu dikemanakan uangnya yang
menganggur? Ini yang tidak saya duga.
Rupanya si teman piawai mengelola aset yang dimilikinya.“Ada yang di
deposito, ada yang diinvestasikan di properti,lalu satu lagi
diinvestasikan di reksa dana,” ujar si teman ketika saya tanya ke mana
lari gajinya.Saya tak menduga si teman begitu rapi mengelola uangnya,
karena setahu saya ia lugu dalam hal mengurus duit. Ya karena
seumur-umur tidak pernah punya uang banyak.
Kelas Menengah Baru
Teman saya di atas adalah potret kelas menengah baru
Indonesia.Awalnya dari kampung, berasal dari keluarga sederhana, pintar
di sekolah sehingga mampu belajar sampai ke universitas. Berbekal
sekolah dan pengetahuan, mereka berurbanisasi ke Ibu Kota untuk mengadu
nasib.Pengetahuan memang ampuh menjadi alat pendongkrak status ekonomi.
Dengan pengetahuan yang didapat di universitas, mereka bisa mendapatkan
pekerjaan bagus dan survive hidup di Jakarta.
Dengan “kultur kampung” yang prihatin dan kerja keras,mereka sukses
berkompetisi di antara kolega-koleganya di kantor sehingga posisi demi
posisi empuk diraihnya.Sukses karier tentu saja diikuti dengan sukses
fulus.Maka dua-tiga tahun bekerja, biasanya mereka mulai punya duit
berlebih. Apalagi di awal-awal bekerja, umumnya mereka belum berkeluarga
sehingga banyak porsi duitnya menganggur (discretionary income).
Kelas menengah baru ini umumnya sangat knowledgeable dan technology
savvy, karena itu mereka banyak membaca buku dan googling untuk mencari
informasi mengenai bagaimana mengelola aset miliknya.“Gara-gara baca
buku Cashflow Quadrant-nya Robert Kiyosaki saya jadi tahu bagaimana
mengelola duit,” begitu komentar teman saya mengenai bagaimana awalnya
ia sadar untuk mengelola keuangannya. Melalui internet, mereka juga
aktif berburu informasi mengenai instrumeninstrumen investasi keuangan
seperti saham, reksa dana, obligasi, unit link, dan lain-lain.
Aset Manajemen
Saya memperkirakan,kelompok kelas menengah yang memiliki potensi
dana berlebih untuk diinvestasikan dalam berbagai instrumen keuangan ini
ada di segmen kelas menengah atas (upper middleclass) yang memiliki
rentang pengeluaran per hari USD10–20. Menurut data SUSENAS, jumlah
kelompok ini pada tahun 2009 saja sudah mencapai 2,2 juta. Jumlah mereka
terus meningkat sehingga Indonesia merupakan pasar yang sangat
prospektif bagi para manajer investasi.
Seperti tercermin dari FGD (focus group discussion) yang saya
lakukan akhir tahun lalu, konsumen kelas menengah (Consumer 3000) adalah
kelompok masyarakat yang sudah sadar mengelola aset-aset mereka secara
sistematis. Prosesnya berjalan secara natural. Karena mereka mulai
memiliki dana menganggur yang cukupbesar, akansayangjikadana berlebih
tersebut tidak berkembang.
Kalau dana mereka masih kecil,menyimpan dana tersebut dalam bentuk
tabungan biasa tidak menjadi masalah. Namun ketika dananya sudah cukup
besar, mereka mulai berpikir bagaimana dana tersebut bisa menghasilkan
return yang lebih besar. Karena itu,mereka mulai mencari instrumen-
instrumen investasi yang sesuai dengan kebutuhan keuangan mereka.
Pilihannya beragam, memilih saham atau reksa dana yang berisiko.
Ada memilih investasi melalui pembelian properti.Atau pilihan yang
aman seperti deposito atau obligasi pemerintah.Riset yang dilakukan oleh
Knight Frank dan Citi Private misalnya, menemukan sasaran investasi
mereka terutama adalah obligasi pemerintah, dana tunai, dan emas yang
relatif lebih aman. Intinya mereka mulai berpikir bahwa duit menganggur
tersebut harusnya bekerja untuk mereka; bukannya mereka yang bekerja
untuk mencari duit.
New Banking Behavior
Karena itu, revolusi kelas menengah di Indonesia serta-merta akan
diikuti dengan pergeseran banking behavior dari konsumen baru ini.
Perbankan Indonesia akan memasuki babakan baru di mana konsumen menjadi
semakin maju, tak hanya menggunakan layanan perbankan dasar seperti
tabungan, kartu kredit, atau kartu debit.
Mereka memanfaatkan layanan-layanan perbankan yang lebih advance
seperti investasi melalui saham,reksa dana,bancsurance, atau
obligasi.Layanan-layanan tersebut tak hanya dinikmati segelintir segmen
konsumen kelas atas,tapi mulai diadopsi oleh kelas menengah secara
massal. Saya sering menggunakan istilah “mass luxury” untuk menyebut
produk/ layanan yang dulunya hanya dimonopoli oleh segelintir kalangan
atas, tetapi kemudian “turun kelas”mulai diadopsi secara massal oleh
konsumen kelas menengah.
Saya sering menyebut mobil, iPad,TV flat, tiket pesawat, atau
liburan ke luar negeri sebagai contoh aktual dari mass luxury.
Barang-barang tersebut awalnya dimonopoli milik orang kaya, tapi
kemudian menjadi merakyat milik orang kebanyakan. Nah, di industri
perbankan saya melihat tren fenomena mass luxury ini pun terjadi ketika
instrumen-instrumen investasi keuangan seperti reksa dana, bancsurance,
atau obligasi pemerintah mulai diadopsi secara massal oleh konsumen
kelas menengah.
Ketika jumlah kelas menengah ini kian signifikan, tak terelakkan
lagi layanan-layanan keuangan tersebut akan menemukan criticalmass-nya.
Satu lagi gempa tektonik bakal melanda industri perbankan kita seiring
munculnya konsumen kelas menengah. Bagi para bankir, massage-nya jelas,
bahwa Anda para bankir harus mulai pasang kuda-kuda untuk lari cepat
menyongsong tsunami konsumen yang bakal ditimbulkannya.Ingat,kecepatan
sering kali menentukan apakah Anda menjadi winneratau loser.
No comments:
Post a Comment