Monday, April 30, 2012

Sriwiyono: Optimalkan Investasi Saat Pensiun

Bagi Anda yang kini masih punya jabatan, ada baiknya mengikuti jejak Sriwiyono. Eksekutif yang satu ini tidak terlena dengan fasilitas perusahaan, sehingga merasa perlu memutar investasi individu agar berkembang biak. Waktu itu ia prihatin dengan kejadian teman-temannya yang terbiasa menempati rumah dinas di berbagai daerah yang ditugaskan, tapi begitu pensiun kaget karena belum punya rumah sendiri. “Sejak saat itu saya sadar perlunya investasi meski agak telat juga. Soalnya, baru  saya mulai setelah 10 tahun bekerja,”? papar Dirut Bringin Life ini.

Mantan pejabat  Bank Rakyat Indonesia itu mengawali langkah investasinya dengan memasuki sektor properti. Prioritas jatuh ke aktiva tetap lantaran kebutuhan primer  atas tempat tinggal dan rendahnya risiko penyusutan nilai properti.  Maka, dibelilah sebuah rumah di Yogyakarta, yang rencananya hendak dipakai saat pensiun. Sekarang, rumah itu ditempati anaknya yang masih kuliah.

Tidak puas hanya punya aset di Yogya, Sriwiyono pun melirik kota lain. Kemudian dibelilah beberapa rumah di Cempaka Putih, Jakarta Pusat dan Sentul, tanah di Cimanggis, Depok dan Sukabumi, serta sawah di Klaten, Jawa Tengah. Investasi properti ini mengambil porsi 30% portofolionya. Sisanya diputar di instrumen valas (20%),  deposito dan tabungan (15%), reksa dana (15%), unit linked dan asuransi (15%), plus saham (5%).

Ketertarikan Sriwiyono pada properti bukan tanpa alasan. “Harganya naik berkali lipat dan banyak manfaatnya,”? ujar lelaki kelahiran Klaten, 24 Maret 1946 itu. Salah satu manfaatnya, ia mencontohkan, tanah yang dibelinya dijadikan sawah dan kebun. Dengan bentuk sawah, ia bisa mempekerjakan banyak orang sebagai buruh tani. Lagi pula, ia menambahkan,  untungnya lebih gede sedikit dibanding bunga deposito setelah dipotong biaya operasional. Sementara itu, investasinya di kebun bisa memetik untung dari kenaikan harga tanah. Ia pun dapat menanam aneka buah: duku, durian, mangga dan pisang yang bisa dibagikan ke tetangga dan sanak saudara manakala musim panen.

Sama  dengan kebanyakan investor properti lainnya, ia membeli aset tersebut dengan mempertimbangkan:  lokasinya mesti berprospek bagus, kelengkapan surat-surat harus dicek ke Badan Pertanahan Nasional, harga miring. Dan, Sriwiyono lebih suka membayar tunai properti yang dibelinya agar tidak memberatkan cash flow keuangan rumah tangga.

Mengapa tergiur investasi valas? Menurut Sriwiyono, bukan untuk gagah-gagahan, melainkan berguna untuk antisipasi melorotnya nilai tukar rupiah terhadap US$. Itulah sebabnya ia memilih tabungan dan reksa dana berbasis mata uang US$. Dari alokasi 20% investasinya di valas, 5% untuk tabungan dan 15% reksa dana. Hasil investasi ini dimanfaatkan Sriwiyono beserta keluarganya untuk umroh dan jalan-jalan ke luar negeri saat liburan.

Berbeda dari orang kebanyakan yang baru melek asuransi di era 1990-an, Sriwiyono telah insurance minded sejak 1972. Kala itu (saat masih bekerja di BRI), untuk memproteksi diri dan keluarganya, ia sudah memasukkan produk asuransi ke dalam portofolionya. Mula-mula produk asuransi memang cuma untuk jaga-jaga kalau ada musibah yang menimpa keluarganya. Akan tetapi, setelah tahun 2000 perkembangan industri asuransi cukup pesat dengan diperkenalkannya unit linked. Untuk itu, terhitung sejak 2002 ia merasa perlu melengkapi dengan beberapa produk unit linked. Alasannya, unit linked berfungsi ganda: proteksi sekaligus investasi. Tak heran, produk asuransi mengambil jatah 15% total portofolionya.

Untuk reksa dana yang dirambah sejak 2002, Sriwiyono lebih suka jenis reksa dana pendapatan tetap dengan alokasi investasi 15%. Ini sesuai dengan profil risikonya yang cenderung moderat. Supaya nilai aktiva bersih (NAB) reksa dana yang digenggamnya tidak tergerus, ia memilih fund manager yang reputasinya sudah teruji dan piawai mengelola dana nasabah. Selain itu, ia tidak menarik tunai di tengah jalan, melainkan sampai masa kontrak berakhir. Sebab, dengan investasi reksa dana jangka panjang, NAB pasti naik dari harga pembelian awal.

Walaupun usianya  sudah 59 tahun, Sriwiyono masih menyempatkan bermain saham. Tidak masalah walaupun duit yang ditaruh di saham hanya 5% total portofolionya. “Namanya juga menyebar risiko, harus kita masuki juga dong meski porsinya sedikit,”? kata Sriwiyono yang juga menjabat Komisaris PT Kelola Jasa Artha. Agar risiko tidak terlalu besar, ia menyiasati dengan strategi membeli saham-saham papan utama saja. Dalam melakukan aksi jual-beli saham, ia meniru teman-temannya dengan pola netting. Maksudnya, beli saham di pagi hari dan menjual kembali sorenya. Baginya, tidak masalah untung tipis, asalkan kontinyu meraih gains.

Tidak sia-sia Sriwiyono memilah-milah investasinya ke beberapa keranjang. Pasalnya, dengan banyak pilihan wahana investasi, ia mengaku tidak pernah mengalami kerugian yang tajam. “Kalau rugi sih tidak pernah. Paling-paling rumah yang di Sentul itu belum terpakai sampai sekarang, tapi ada biaya untuk pemeliharaan,”? ungkap ayah empat anak ini.

Sebaliknya, untuk investasi properti ia mengklaim selalu beruntung. Umpamanya, saat ia membeli rumah di Rawa Selatan, Cempaka Putih tahun 1989 hanya merogoh kocek Rp 55 juta, sekarang sudah ditawar orang Rp 1,5 miliar. Tidak hanya itu. Tahun 2003 ia membeli rumah di bilangan Rawasari, Cempaka Putih seharga Rp 2 miliar, tapi kini sudah ditaksir Rp 2,25 miliar.

Di luar properti, diakui Sriwiyono, imbal hasilnya relatif lebih kecil. Sebut saja untuk reksa dana rupiah, return-nya10%-11%/tahun. Capital gains saham juga tipis, karena ia cuma bermain short term.  Bunga tabungan dan deposito rupiah pun maksimal 5%/tahun.  Sementara, bunga tabungan dan reksa dana valas selalu di bawah 1%. “Kalau investasi valas di bawah US$ 5 ribu justru rugi, karena setelah dikurangi biaya-biaya hasil akhirnya malah minus,”? tutur lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada ini.

Anehnya, walaupun peta portofolio pribadi Sriwiyono telah terdiversifikasi ke berbagai wahana investasi, ia merasa belum puas. Mengapa? “Saya merasa imbal hasilnya belum optimal, karena saya masih menjabat. Jadi hasil investasi lebih banyak untuk mendukung likuiditas,”? keluhnya lirih. Maklumlah, di tengah kesibukannya sebagai eksekutif, ia tidak bisa konsentrasi penuh mengelola sendiri uangnya. Akibatnya, bila ada kesempatan emas di depan mata, lewat begitu saja. Dengan demikian peluang menangguk untung signifikan pun harus ditahan.

Itulah sebabnya, jika pensiun — jabatannya akan berakhir di penghujung 2005 — nanti, ia berjanji akan menekuni investasi pribadinya. Ia tidak mau income-nya turun drastis setelah pensiun. Maka, segala bentuk investasi akan dijajal sesuai dengan kemampuannya dan kondisi makroekonomi. Ibaratnya di mana arah angin bergerak, di situlah investasi Sriwiyono bakal dibenamkan. Artinya, peta investasinya saat ini kemungkinan besar nantinya berubah. “Pokoknya saya selalu mengevaluasi keadaan seluruh investasi pribadi.  Di mana yang potensinya bagus, saya akan masuk. Kalau tidak, ya saya tinggalkan,”? Sriwiyono menjelaskan dengan enteng. Ia mencontohkan, dua tahun lalu pasar reksa dana pendapatan tetap bagus, sehingga ia masuk. Di sisi lain jika dalam perkembangannya kinerja produk itu memburuk, ia hendak mengalihkan ke reksa dana saham.

1 comment: