Bagi
Anda yang kini masih punya jabatan, ada baiknya mengikuti jejak
Sriwiyono. Eksekutif yang satu ini tidak terlena dengan fasilitas
perusahaan, sehingga merasa perlu memutar investasi individu agar
berkembang biak. Waktu itu ia prihatin dengan kejadian teman-temannya
yang terbiasa menempati rumah dinas di berbagai daerah yang ditugaskan,
tapi begitu pensiun kaget karena belum punya rumah sendiri. “Sejak saat
itu saya sadar perlunya investasi meski agak telat juga. Soalnya, baru saya mulai setelah 10 tahun bekerja,”? papar Dirut Bringin Life ini.
Mantan pejabat Bank Rakyat Indonesia itu mengawali langkah investasinya dengan memasuki sektor properti. Prioritas jatuh ke aktiva tetap lantaran kebutuhan primer atas tempat tinggal dan rendahnya risiko penyusutan nilai properti. Maka, dibelilah sebuah rumah di Yogyakarta, yang rencananya hendak dipakai saat pensiun. Sekarang, rumah itu ditempati anaknya yang masih kuliah.
Tidak puas hanya punya aset di Yogya, Sriwiyono pun melirik kota
lain. Kemudian dibelilah beberapa rumah di Cempaka Putih, Jakarta Pusat
dan Sentul, tanah di Cimanggis, Depok dan Sukabumi, serta sawah di
Klaten, Jawa Tengah. Investasi properti ini mengambil porsi 30%
portofolionya. Sisanya diputar di instrumen valas (20%), deposito dan tabungan (15%), reksa dana (15%), unit linked dan asuransi (15%), plus saham (5%).
Ketertarikan
Sriwiyono pada properti bukan tanpa alasan. “Harganya naik berkali
lipat dan banyak manfaatnya,”? ujar lelaki kelahiran Klaten, 24 Maret
1946 itu. Salah satu manfaatnya, ia mencontohkan, tanah yang dibelinya
dijadikan sawah dan kebun. Dengan bentuk sawah, ia bisa mempekerjakan
banyak orang sebagai buruh tani. Lagi pula, ia menambahkan, untungnya
lebih gede sedikit dibanding bunga deposito setelah dipotong biaya
operasional. Sementara itu, investasinya di kebun bisa memetik untung
dari kenaikan harga tanah. Ia pun dapat menanam aneka buah: duku,
durian, mangga dan pisang yang bisa dibagikan ke tetangga dan sanak
saudara manakala musim panen.
Sama dengan kebanyakan investor properti lainnya, ia membeli aset tersebut dengan mempertimbangkan: lokasinya
mesti berprospek bagus, kelengkapan surat-surat harus dicek ke Badan
Pertanahan Nasional, harga miring. Dan, Sriwiyono lebih suka membayar
tunai properti yang dibelinya agar tidak memberatkan cash flow keuangan rumah tangga.
Mengapa
tergiur investasi valas? Menurut Sriwiyono, bukan untuk gagah-gagahan,
melainkan berguna untuk antisipasi melorotnya nilai tukar rupiah
terhadap US$. Itulah sebabnya ia memilih tabungan dan reksa dana berbasis mata uang US$.
Dari alokasi 20% investasinya di valas, 5% untuk tabungan dan 15% reksa
dana. Hasil investasi ini dimanfaatkan Sriwiyono beserta keluarganya
untuk umroh dan jalan-jalan ke luar negeri saat liburan.
Berbeda dari orang kebanyakan yang baru melek asuransi di era 1990-an, Sriwiyono telah insurance minded
sejak 1972. Kala itu (saat masih bekerja di BRI), untuk memproteksi
diri dan keluarganya, ia sudah memasukkan produk asuransi ke dalam
portofolionya. Mula-mula produk asuransi memang cuma untuk jaga-jaga
kalau ada musibah yang menimpa keluarganya. Akan tetapi, setelah tahun
2000 perkembangan industri asuransi cukup pesat dengan diperkenalkannya unit linked. Untuk itu, terhitung sejak 2002 ia merasa perlu melengkapi dengan beberapa produk unit linked. Alasannya, unit linked berfungsi ganda: proteksi sekaligus investasi. Tak heran, produk asuransi mengambil jatah 15% total portofolionya.
Untuk
reksa dana yang dirambah sejak 2002, Sriwiyono lebih suka jenis reksa
dana pendapatan tetap dengan alokasi investasi 15%. Ini sesuai dengan
profil risikonya yang cenderung moderat. Supaya nilai aktiva bersih
(NAB) reksa dana yang digenggamnya tidak tergerus, ia memilih fund manager
yang reputasinya sudah teruji dan piawai mengelola dana nasabah. Selain
itu, ia tidak menarik tunai di tengah jalan, melainkan sampai masa
kontrak berakhir. Sebab, dengan investasi reksa dana jangka panjang, NAB
pasti naik dari harga pembelian awal.
Walaupun usianya sudah
59 tahun, Sriwiyono masih menyempatkan bermain saham. Tidak masalah
walaupun duit yang ditaruh di saham hanya 5% total portofolionya.
“Namanya juga menyebar risiko, harus kita masuki juga dong
meski porsinya sedikit,”? kata Sriwiyono yang juga menjabat Komisaris
PT Kelola Jasa Artha. Agar risiko tidak terlalu besar, ia menyiasati
dengan strategi membeli saham-saham papan utama saja. Dalam melakukan
aksi jual-beli saham, ia meniru teman-temannya dengan pola netting. Maksudnya, beli saham di pagi hari dan menjual kembali sorenya. Baginya, tidak masalah untung tipis, asalkan kontinyu meraih gains.
Tidak
sia-sia Sriwiyono memilah-milah investasinya ke beberapa keranjang.
Pasalnya, dengan banyak pilihan wahana investasi, ia mengaku tidak
pernah mengalami kerugian yang tajam. “Kalau rugi sih
tidak pernah. Paling-paling rumah yang di Sentul itu belum terpakai
sampai sekarang, tapi ada biaya untuk pemeliharaan,”? ungkap ayah empat
anak ini.
Sebaliknya,
untuk investasi properti ia mengklaim selalu beruntung. Umpamanya, saat
ia membeli rumah di Rawa Selatan, Cempaka Putih tahun 1989 hanya
merogoh kocek Rp 55 juta, sekarang sudah ditawar orang Rp 1,5 miliar.
Tidak hanya itu. Tahun 2003 ia membeli rumah di bilangan Rawasari,
Cempaka Putih seharga Rp 2 miliar, tapi kini sudah ditaksir Rp 2,25
miliar.
Di luar properti, diakui Sriwiyono, imbal hasilnya relatif lebih kecil. Sebut saja untuk reksa dana rupiah, return-nya10%-11%/tahun. Capital gains saham juga tipis, karena ia cuma bermain short term. Bunga tabungan dan deposito rupiah pun maksimal 5%/tahun. Sementara,
bunga tabungan dan reksa dana valas selalu di bawah 1%. “Kalau
investasi valas di bawah US$ 5 ribu justru rugi, karena setelah
dikurangi biaya-biaya hasil akhirnya malah minus,”? tutur lulusan
Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada ini.
Anehnya,
walaupun peta portofolio pribadi Sriwiyono telah terdiversifikasi ke
berbagai wahana investasi, ia merasa belum puas. Mengapa? “Saya merasa
imbal hasilnya belum optimal, karena saya masih menjabat. Jadi hasil
investasi lebih banyak untuk mendukung likuiditas,”? keluhnya lirih.
Maklumlah, di tengah kesibukannya sebagai eksekutif, ia tidak bisa
konsentrasi penuh mengelola sendiri uangnya. Akibatnya, bila ada
kesempatan emas di depan mata, lewat begitu saja. Dengan demikian
peluang menangguk untung signifikan pun harus ditahan.
Benarkan investasi properti kalah oleh investasi emas?
ReplyDelete