Thursday, May 31, 2012

Melirik Depok, Meraup Untung di Rumah Kos

Usaha rumah kos bisa menjadi bisnis yang menggiurkan. Salah satu panggung bisnis ini ada di Kelurahan Kukusan, Kecamatan Beji, Kota Depok.
Dilihat dari fasilitas dan harga kamar, rumah kos saya termasuk kelas menengah. Sejak saya buka sampai sekarang tidak pernah kosong, selalu ada yang menempati.
-- Bahrudin
Gambaran paling jelas terlihat di Jalan H Amat, Jalan Rawa Pule, dan Jalan Palakali. Di kawasan ini, bisnis kos semakin kreatif, mulai dari konsep kos sederhana sampai yang menyediakan fasilitas mirip hotel.
Saat ini para pelaku usaha rumah kos memanfaatkan lokasi yang ada di sekitar kampus Universitas Indonesia (UI) di Kota Depok. Selain fasilitas, usaha ini juga dipengaruhi oleh lokasi. Semakin dekat dengan kawasan kampus, tarif kamar kos semakin tinggi.
Bahrudin (40), misalnya, mengaku tertarik membuka usaha ini setelah melihat bisnis serupa yang dijalankan orangtuanya di kawasan Beji. Pada 2003, pegawai negeri sipil Pemerintah Kota Depok ini memanfaatkan lahannya seluas 80 meter persegi untuk usaha rumah kos.
Lokasi kos milik Bahrudin terletak 200 meter dari area Kampus UI. Di lahan itu, dia membangun empat kamar dengan ukuran 3 meter x 3 meter. Adapun fasilitas yang disediakan: kamar mandi di dalam dan dapur kecil.
"Dilihat dari fasilitas dan harga kamar, rumah kos saya termasuk kelas menengah. Sejak saya buka sampai sekarang tidak pernah kosong, selalu ada yang menempati," kata Bahrudin.
Dari empat kamar tersebut, Bahrudin mendapatkan penghasilan kotor Rp 1,2 juta per bulan. Adapun biaya operasional untuk listrik rata-rata hanya Rp 100.000 per bulan.
Mahal tetap laris
Beberapa pengusaha rumah kos menyediakan fasilitas serupa hotel dengan tarif di atas Rp 500.000 per bulan. Walau begitu, hampir tidak pernah ada kamar yang kosong, seperti di rumah kos Wisma Anggraini di Kelurahan Kukusan, Kecamatan Beji, Depok.
Bambang, penjaga Wisma Anggraini, mengatakan, semua kamar selalu terisi penuh. Rumah kos berkapasitas 36 kamar itu disewakan dengan harga mulai Rp 650.000 per kamar sampai Rp 900.000 per kamar per bulan.
Setup bulan, sedikitnya Bambang memungut pendapatan kotor Rp 23,4 juta. Dia menyerahkan kepada pemilik rumah kos, warga Jakarta yang datang ke tempat itu sesekali.
Wisma Anggraini berada di lokasi strategis, hanya kurang dari 10 meter dari tembok pembatas area Kampus UI. Alhasil, wajar jika semua penghuni kamar kosnya adalah mahasiswa UI yang berasal dari sekitar Jakarta, Bekasi, Bogor, dan Tangerang.
Karina, mahasiswa semester I Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UI, mengaku merasa nyaman tinggal di Wisma Anggraini. Dia menilai, ngekos lebih di tempat itu lebih praktis daripada tinggal di rumah kontrakan yang harus memikirkan biaya telepon dan listrik.
"Ke kampus juga dekat, tinggal jalan kaki. Saya tak perlu pulang ke rumah jika ada kegiatan kampus dua kali dalam sehari," kata mahasiswi asal Ciledug, Tangerang, ini.
Regulasi
Pertumbuhan bisnis rumah kos di kawasan Beji membawa dampak melambungnya harga tanah. Era 1980-an, harga tanah di kawasan ini hanya Rp 100.000 per meter persegi. Namun, saat ini harga tanah mencapai Rp 4 juta per meter persegi.
Lantaran besarnya potensi bisnis kos dan sejenisnya, Pemerintah Kota Depok berupaya menjaring pendapatan dari sektor ini dengan menerapkan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah. Perda ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah.
Sesuai ketentuan itu, usaha rumah kos disamakan dengan usaha pada sektor perhotelan. Adapun nilai pungutan rumah kos sebesar 10 persen dari harga kamar per bulan.
Kepala Bidang Pendapatan, Dinas Pengolahan Pendapatan Keuangan dan Aset Kota Depok, Ahmad Helmi mengatakan, usaha rumah kos di Depok terus tumbuh. Sampai Oktober 2011, pendapatan sektor rumah kos mencapai Rp 600 juta. Nilai pajak ini berasal dari pungutan rumah kos yang memiliki sepuluh kamar lebih. Helmi mengaku yakin, nilai pendapatan itu jauh lebih kecil daripada potensi yang sebenarnya ada.
Sementara itu, Pemkot Depok baru mendata 33.900 kamar dari 2.490 rumah.kos kontrakan, dan rumah petak. Menurut Helmi, banyak pemilik rumah kos yang belum jujur melaporkan usahanya.
Usaha rumah kos, kontrakan, dan rumah petak di Kota Depok hampir ada di semua wilayah. Hal ini memungkinkan karena lokasi Depok yang dekat dengan Jakarta. Konsumen dapat menikmati human nyaman dengan udara segar dengan harga terjangkau.
Kini, dari semua wilayah yang ada, pertumbuhan usaha rumah kos paling tinggi ada di Kecamatan Beji. Kenyataan ini beralasan karena Beji berbatasan langsung dengan wilayah Jakarta Selatan. Wilayah ini juga berdekatan dengan stasiun kereta api, Jalan Margonda (jalan utama di Depok), Kampus Universitas Indonesia, dan Universitas Gunadarma.
Belum banyak terjaring 
Wing Iskandar, Ketua Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Kota Depok, mengakui, bisnis kos tumbuh subur di Depok. Bisnis tersebut meledak pada era 1990-an ketika aktivitas Kampus UI dan Universitas Gunadarma semakin ramai.
Hal itu didukung pula oleh maraknya pusat perbelanjaan di kawasan tersebut. Menurut dia, bisnis rumah kos merupakan usaha yang memiliki prospek cerah di Depok. Peluang usaha ini sangat terbuka seiring perkembangan kota.
"Ini fenomena positif. Namun, seharusnya juga memberi dampak baik bagi pendapatan negara. Saya yakin, banyak potensi pendapatan dari sektor ini yang belum terjaring pajak," ungkap Iskandar.
M Mudhofir, Lurah Kukusan, Kecamatan Beji, Kota Depok, membenarkan kesulitan mendata rumah kos di wilayahnya. Hal ini terjadi karena pemilik rumah kos tak mengurus langsung usahanya. Bahkan, untuk mengundang pemilik kos bertemu bersama juga sulit.
Sejauh ini, pihak kelurahan lebih sering berhadapan dengan penjaga kos. Maka, yang terjadi adalah, mereka hanya dapat mendengarkan penjelasan pihak kelurahan tanpa bisa mengambil keputusan mengenai rumah kos.

No comments:

Post a Comment